pengertian iq eq aq cq sq

UntukAnda yang ingin tahu apa itu IQ, SQ, EQ, CQ, ESQ silakan menyimak tulisan Kissparry di bawah ini. Apakah kepanjangan dari istilah-istilah tersebut diatas. IQ (Intellegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), AQ (Addversity Quotient), CQ (Creativity Quotient), dan KecerdasanIQ (Intellegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), AQ (Addversity Quotient),CQ (Creativity Quotient), dan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang merupakan gabungan dari EQ dengan SQ) merupakan bagian dari potensi psikis seseorang yang tidak terlihat dan pelu diasah. PengertianIQ, EQ, SQ, AQ, CQ, dan ESQ. Setiap individu memiliki potensi diri, dan setiap potensi antara satu individu dengan individu yang lain pastilah berbeda. Potensi diri tersebut dibedakan menjadi dua, yakni potensi fisik dan potensi psikis. Potensi fisik menyangkut dengan keadaan dan kesehatan tubuh ( kurus, gemuk, dan lain-lain), wajah ( IQmerupakan kepanjangan dari Intelegence Quotient yang artinya ukuran kemampuan intelektuas, analisis, logika, dan rasio seseorang. IQ adalah istilah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya. IQchỉ là một yếu tố góp phần tạo nên thành công mà thôi, bởi ngày nay người ta muốn coi trọng chỉ số EQ hơn là IQ. 2. Chỉ số EQ. Chỉ số EQ viết tắt của từ Emotional Quotient có nghĩa là chỉ số cảm xúc. Chỉ số này dùng để đánh giá khả năng sáng tạo và óc tưởng Er Flirtet Ständig Mit Anderen Frauen. For centuries a person’s intelligence or academic abilities were measured with a standardised IQ test. The higher a person scored on the test the more academically capable they were perceived to be. Organisations like MENSA were formed with exclusive membership being granted to adults and children who displayed very high IQ levels. In his book, Frames of Mind, Howard Garner challenges the notion that intelligence is a single yardstick on which to measure a person’s abilities and chances of future success. Over the last few decades, other researchers and psychologists have followed suit and also identified alternative ways to measure intelligence that doesn’t only focus on academic abilities. There are four types of intelligence that are commonly used today; Intelligence Quotient IQEmotional Quotient EQSocial Quotient SQAdversity Quotient AQIn this article, we will look at the different types of intelligence, learn more about whether IQ is more important than EQ, SQ and AQ, and find out how parents can incorporate social and emotional development into their child’s education. Meaning of IQ, SQ, EQ and AQIntelligence Quotient or commonly referred to as IQ measures a person’s level of comprehension. This is usually assessed through an IQ assessment that tests a person’s ability to solve mathematical equations, memorise things, identify patterns and recall Quotient EQ or Emotional Intelligence refers to one’s ability to manage their emotions. This includes the ability to understand and self-manage their own feelings in positive ways to communicate effectively, empathize with others, overcome challenges, manage conflict and relieve Quotient SQ or Social Intelligence refers to one’s ability to interact and communicate with others with empathy and assertiveness. This includes a person’s ability to build a network of friends and maintain it over a long period of Quotient AQ refers to one’s ability to overcome challenges or adversity. When faced with troubles, the Adversity Quotient considers who will give up, who will abandon their family, and who will contemplate Goleman, author, psychologist and journalist for the New York Times, stated that “as much as 80% of adult success comes from EQ”. His research shows that people who have higher emotional and social intelligence tend to go further in life than those with a high IQ but low EQ or SQ. Every child is different, with unique learning needs and personalities. Saying that one intelligence type is more important than another is like saying that it is more important to learn maths than languages. Whilst each subject is important in schooling, what is most important is that a child builds educational foundations that will serve them through their adult life. The same logic can be applied when comparing different types of intelligence. It is simply not logical to think that one type of intelligence is more important than another. Developing a child’s social skills, self-awareness, self-control and coping mechanisms are not only important for learning but also vital to succeed as adults in a workplace environment. Social and emotional learning in schoolsBenefits of social and emotional learningThere are tangible and practical reasons to incorporate social and emotional learning into a child’s education. According to Goleman, incidences of bullying, peer pressure, behavioural problems, violence and substance abuse are reduced in schools that focus on developing their students' EQ and SQ. This in turn leads to improved academic performance and behaviour. CambriLearn’s social and emotional learning courseCambriLearn offers an in-depth social-emotional learning course to help children navigate these critical developmental areas. The course is completed online through interactive lessons and group projects to help learners discover constructive ways to process their emotions and interact with others in a respectful way. In this course, students learn to Recognise and practice character strengths, like curiosity, persistence, and and manage their emotions, like fear and in a team, listen to and appreciate each the consequences of their actions to others. Students who have completed the social-emotional learning course with CambriLearn have shown improved self-esteem and self-awareness,attitude and relationships,ability to cope with social and peer pressures, learning outcomes. Keberhasilan dalam belajar juga ditentukan oleh IQ, EQ, AQ, CQ, dan SQ. Berikut ini adalah penjelasannya. IQ Intellegence Quotient Kecerdasan intelektual adalah syarat minimum kompetensi. Intelegensi diartikan sebagai keseluruhan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif Marhten Pali, 1993. Konsep intelegensi yang pertama kali di rintis oleh Alfred Bined 1964, mempercayai bahwa kecerdasan itu bersifat tunggal dan dapat diukur dalam satuan angka yaitu intelegence Quotient IQ. Ini berdasarklan penelitian terbaru telah terungkap adanya multiple intelligence kecerdasan majemuk. Gardner, 1994 menemukan dalam setiap anak tersimpan 8 kecerdasan yang siap berkembang, yaitu Kecerdasan Linguistik word smart = cerdas berbahasa Kecerdasan Matematik-logis number smart = cerdas angka Kecerdasan Spasial Cerdas gambar Kecerdasan Kinestetik-Jasmani body smart = cerdas tubuh Kecerdasan Musikal Cerdas music = nada suara Kecerdasan Interpersonal Self smart = cerdas diri kecerdasan Intrapersonal people smart = cerdas bergaul Kecerdasan Naturalis cerdas alam. Yang menggembirakan dari paradigma baru tentang intelligence adalah pandangan bahwa TIDAK ADA MURID YANG BODOH ! Setiap anak punya kecerdasan yang menonjol satu atau dua jenis dan siap untuk berprestasi. EQ Emotion Qoutient Penelitan mutakhir menjelaskan bahwa kecerdasan intelektual belumlah cukup. IQ menyumbangkan 20% dari keberhasilan. Yang lebih banyak perannya dalam keberhasilan seseorang adalah kecerdasan emosional 80%. Apakah kecerdasan emosional itu? Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik dan dalam berhubungan dengan orang lain. Jelaslah EQ sangat besar peranannya untuk memilih segala kesuksesan termasuk sukses di bangku sekolah. Daniel Goldman mengembangkan EQ menjadi 5 kategori dengan point-point yakni Kesadaran diri kesadaran emosi diri menilai peribadi dan percaya diri Pengaturan diri pengendalian diri, sikap dapat dipercaya, waspada, adaptif dan inovatif Motivasi Dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimism Empati memahami orang lain, pelayanan, membantu pengembangan orang lain, menyikapi perbedaan dan kesadaran politis Keterampilan social pengaruh persuasi keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, katalisator dan perubahannya, manajemen konflik, keakraban, kerjasama dan kerja tim. AQ Adversity Quotient Mengapa banyak orang yang jelas-jelas cerdas/berbakat tetapi gagal membuktikan potensi dirinya ? Berapa banyak siswa yang memiliki IQ tinggi tetapi gagal dalam meraih prestasi belajar ? Sebaliknya tidak sedikit orang yang memiliki IQ tidak tinggi tetapi justru lebih unggul dalam presatis belajar. Pada umumnya ketika dihadapkan pada kesulitasn dan tantangan hidup kebanyakan manusia menjadi loyo dan tidak berdaya. Mereka berhenti berusaha sebelum dan kemampuannya benar-benar teruji. Banyak orang yang gampang menyerah sebelum berperang. Mereka inilah yang dimaksudkan dengan rendah Adversity Qoutientnya. Adversity Qoetient adalah kemampuan / kecerdasan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup. Paul G Stoltz adalah, penemu teori AQ ini berdasarkan penelitiannya ada tingkatan AQ pada masyarakat manusia ini, yakni 1. Tingkat Quitters orang-orang yang berhenti Quitters adalah orang yang paling lemah AQnya. Ketika menghadapi berbagai kesulitan hidup, mereka berhenti dan langsung menyerah mereka memilih untuk tidak mendaki, mereka kelua, mundur dan menghindar dari kewajiban/tugas-tugas hidup. Mereka tidak memanfaatkan peluang, potensi dan kesemapatan dalam hidup. Contoh seorang individu yang tidak berkutik hanya mengeluh ketika ditimpa kondisi buruk, mislanya penderitaan, kemiskinan dan kebodohan dan lain-lainnya. 2. Tingkat Campers Orang yang berkemah Campers adalah AQ tingkat sedang. Awalnya mereka giat medaki, berjuang menyelesaikan tantangan kehidupan. Namun ditengah perjalan mereka berhenti juga. Mereka telah jenuh dan bosan, merasa sudah cukup, mengakhiri pendakian dengan mencari tempat yang data dan nyaman. Contohnya seorang yang mengira bahwa sukses itu dalah yang pentidk sudah naik kelas/lulus, meskipun pas-pasan saja. Sudah punya harta/jabatan baru sudah cukup sukses di dunia sudah cukup! 3. Tingkat Climbars Orang yang Mendaki Climbers adalah pendaki sejati. Oang yang seumur hidup mencurahkan diri kepada pendakian hidup. Mereka paham dan sadar bahwa sukses itu bukan hanya dimensi fisik material, tetapi seluruh dimensi fisik, moral, sosial, spiritual dan seterusnya. Mereka adalah orang yang selalu mencari hakikat hidup, hakikat manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna dan akan kembali kepada Sang maha Pencipta. Mendaki hidup abadi, yang jauh lebih panjang. CQ Creativity Quotient Creativity/ Kreativitas adalah potensi seseorang untuk memunculkan sesuatu yang merupakan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua bidang dalam usaha lainnya GUIL FORD mendiskripsikan 5 ciri kreativitas Kelancaran/ Kefasihan Kemampuan memproduksi banyak ide Keluwesan Kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan jalan pemecahan masalah. Keaslian Kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinal sebagai hasil pemikiran sendiri Penguraian Kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci Perumusan Kembali Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan melalui cara yang berbeda dengan yang sudah lazim. Beberapa Cara Memunculkan Gagasan Kreatifitas Kuantitas Gagasan Gagasan pertama sebagai cara untuk mendapatkan gagasan yang lebi baik. Pemilihan dari bernagai gagasan Brainstorming Untuk menambah gagasan yang telah ada, untuk mendapat gagasan yang orisinil Sinektik Membuat yang asing menjadi akrab menggunakan analogi dan metafora Memfokuskan Tujuan Membuat seolah-olah apa yang diinginkan akan terjadi besok. SQ Spritual Qoutient Hasil penelitian di ratusan perusahaan dan kalangan eksekutif bisnis menunjukkan bahwa spirit itu sungguh penting. Spirit menjadi salah satu faktor penentu sukses salah satu contoh spirit mereka adalah keyakinan bahwa bisnis itu bermakna besar bagi diri, keluarga dan masa depan umat manusia. Sebaliknya keringnya spirit akan meruntuhkan seseorang atau perusahaan. Pengertian Kecerdasan Spiritual SQ Spiritual adalah initi dari pusat diri sendiri. Kecerdasan spiritual adalah sumber yang mengilhami, melambangkan semangat dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa bata waktu Agus Nggermanto, 2010. M. Zuhri menambahkan, bahwa SQ merupakan kecerdasan yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ciri-ciri SQ Tinggi Menurut Dimitri Mahayana Agus Nggermanto, 2001, cirri-ciri orang yang ber-SQ tinggi adalah 1. Memiliki prinsip dan visin yang kuat 2. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman 3. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan 4. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan. Cara Melatih IQ, EQ, AQ, SC dan SQ Melatih IQ, EQ, AQ, CQ dan SQ sekaligus, sangat menajamkan indera kita dalam menangkap materi pelajaran, menajamkan pikiran dalam memahami intisari dari setiap pokok bahasan serta memberikan dorongan kepada akal untuk menghindarkan diri dari gangguan nafsu. Akhirnya konsentrasi kita akan lebih khusuk dan daya tangkap kita akan lebih cemerlang. Memori-memori yang disimpan dalam brankas otak menjadi aman, tidak rusak dan tidak hilang, serta dapat digunakan pada waktunya sesuai kebutuhan. Apa bedanya antara IQ, EQ, dan SQ? Semua istilah ini dibahas tuntas dari sejarahnya, pengertian, dan lain-lain. Udah jadi dambaan tiap ortu kalo anaknya itu bakal jadi anak yang pinter, cerdas dan berbudi pekerti luhur sedaapp. Pasti lo sering ngalamin deh, didoain, diharepin, dipaksa, bahkan diomelin sama ortu cuma biar lo jadi pinter. Oleh karena itu, pasti lo nggak asing dong sama singkatan IQ, yg merupakan singkatan dari Intelligence Quotient atau nilai kecerdasan seseorang. Belom juga ngerti tentang apa itu IQ, eeh udah ada lagi yang namanya EQ Emotional Quotient, dan tiba-tiba muncul lagi istilah SQ Spiritual Quotient. Sebenernya apaan sih itu? Emang bener yah kecerdasan emosional dan spiritual orang bisa dikuantifikasi? Belom juga udah ngerti masing-masing istilah IQ, EQ, SQ itu apa, eeh tiba-tiba kita udah disuruh buat tes IQ lah, test EQ, belajar dan ikut program ini-itu, demi meningkatkan nilai IQ, EQ, dan SQ kita. Naah, sebelom kita capek-capek belajar dan muter otak sampe jungkir balik segala macem demi ningkatin apa yang sebenernya kita belum paham. Naah, blog Zenius kali ini bakal seru banget karena gue bakal kasih tau elo selengkapnya apa itu konsep IQ, EQ, dan SQ yang sebenernya. Oke, kita langsung aja deh nih ngomongin yang pertama. IQ, Intelligence QuotientEmotional Quotient Intelligence Spiritual Quotient Intelligence IQ, Intelligence Quotient IQ atau nilai kecerdasan seseorang. Nah yang ini nih sebenernya konsep yang udah ada sejak akhir abad 19, kira-kira di tahun 1890-an, yang pertama kali dipikirin oleh Francis Galton sepupunya Charles Darwin, Bapak Evolusi. Berlandaskan dari teori sepupunya mengenai konsep survival dari individu dalam suatu spesies, yang disebabkan oleh “keunggulan” sifat-sifat tertentu dari individu yang diturunkan dari orangtua masing-masing. Galton menyusun sebuah tes yang rencananya mengukur intelegensi dari aspek kegesitan dan refleks otot-otot dari manusia. Baru pas awal abad 20, Alfred Binet dibaca Biney, psikolog dari Perancis, ngembangin alat ukur intelegensi manusia yang mulai kepake sama orang-orang. Dari alat ukur ciptaan Binet ini, akhirnya berkembang deh alat-alat ukur IQ sampe yang kita kenal dan pake sekarang. Gara-gara orang mulai sadar sama pentingnya intelegensi dan pengetesannya, mulai deh tuh, para ahli psikologi neliti dan bikin hipotesis tentang kecerdasan. Banyak banget deh yang akhirnya muncul dengan pendapat yang berbeda-beda, masing-masing dengan bukti yang dianggap kuat oleh masing-masing pihak. Ada yang menganggap bahwa kecerdasan adalah konsep tunggal yang dinamakan faktor G General Intelligence. Ada juga yang menganggap kecerdasan itu pada intinya terbagi jadi dua macam set kemampuan, yaitu fluid Gf dan crystallized Gc. Berbagai macam pengetesan kecerdasan dibikin ngacu ke pandangan-pandangan ini sepanjang abad ke 20. Tapi yang lagi ngetren sekarang tuh yang namanya multiple intelligence, atau kecerdasan berganda yang dicetuskan oleh Howard Gardner di tahun 1983. Gardner nyebutin bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah konsep tunggal atau bersifat umum, namun merupakan set-set kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu, yang semuanya merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah, serta merupakan hasil dari evolusi manusia selama jutaan tahun. Gardner awalnya membagi kecerdasan manusia menjadi delapan kategori yaitu a Music-rhythmic & Harmonic,bVisual-spatial,c Verbal-linguistic,d Logical mathematical,e Bodily-kinesthetic,f Intrapersonal,g Interpersonal,h Naturalistic. Masing-masing lengkapnya kayak apa mending elo Google aja deh, kepanjangannya Men. Intinya, lo bisa tangkep lah dengan gampang kalo liat istilahnya aja. Nah, seiring berjalannya waktu, akhirnya Gardner nambahin lagi aspek kecerdasan kesembilan, yaitu i Existential – yang mencakup sisi spiritual dan transendental. Walaupun populer, teori ini mendapat banyak kritik karena kurangnya bukti empiris. Nah, oleh karena itu, sampe sekarang para ahli belom sepakat dalam ngasih definisi apa itu kecerdasan, diukur pake alat apa, serta apa arti dari skor kecerdasan seseorang. Makanya, sekarang tuh para praktisi ilmu psikologi, pendidik, sekolah, dan beberapa negara maju udah ga make lagi tuh istilah “tes IQ”. Alih-alih mereka bilangnya test tertentu kaya “tes kemampuan akademik”, “tes kecerdasan verbal”, dan sebagainya. Masalahnya, di Indonesia nih masih umum banget istilah IQ. Ga jarang juga kan kita denger pertanyaan “IQ lo berapa?”, “Gimana Men, besok tes IQ, udah siap?”, “Itu butuh IQ berapa sih biar bisa keterima di sekolah/kelompok itu?”, dan sebagainya. Lewat tulisan ini, gue rada pingin nyuarain juga nih ke elo-elo pada, bahwa banyak banget pengetesan yang sebenernya ga ngukur kecerdasan umum, tapi ngakunya sebagai tes IQ. Harus ati-ati deh buat nyikapinnya. Ini bukan berarti yang namanya IQ atau kecerdasan umum itu ga ada yeh. IQ itu ada, tapi yang bermasalah itu alat ukurnya biasanya gak akurat. Jadi biarin deh urusan begituan diserahin dulu ke para ahli bidang yang bersangkutan. Balik lagi nih, ke pandangan umum masyarakat tentang konsep “kecerdasan umum” atau yang dikenal sebagai IQ tadi. IQ gue tinggi, terus? IQ gue jongkok, terus? Kalo nilai skor tes gue jeblok, apa berarti gue orang bego, gitu? Nah, pertanyaan-pertanyaan ini nih ga bisa dijawab dengan jawaban yang simpel kayak “Iya ya ternyata gue bego karena IQ gue rendah”, atau sebaliknya. Yang namanya bego, itu nggak cuma gara-gara IQ lo rendah doang, atau cerdas karena IQ lo tinggi. Gini misalnya, lo punya skor IQ tinggi trus pada suatu kesempatan lo lagi bawa motor. Karena pingin cepet-cepet sampe, lo ambil jalan yang berlawanan arus. Trus gara-gara ini, lo jadi didamprat orang yang lagi jalan kaki di jalur yang semestinya. Trus akhirnya lo dibilang “ah tolol luh!” maapin kata-kata gue kalo rada kasar, gue cuma mau bikin ini lebih realistis aja. Masuk akal juga kan, kalo lo didamprat kaya gitu, padahal skor IQ lo tinggi. Kasus di atas bikin suatu kesan buat kalangan umum non-akademik buat berpikir bahwa kemampuan pikiran belum tentu membuat lo jadi terlihat cerdas dan adaptif dalam bertingkah laku. Padahal kan tadi di atas disebutin bahwa kecerdasan itu pada intinya adalah kemampuan yang membuat manusia adaptif sebagai individu. Pandangan-pandangan umum yang kayak gini yang akhirnya membuat para ilmuwan kejiwaan ngembangin sebuah konsep terpisah yang dinamakan.. Emotional Quotient Intelligence Lah kok, jadi beda istilah?! Tadi di atas bilangnya emotional quotient EQ kok sekarang jadi Emotional Intelligence EI? Sebenernya sih sama, tapi emang udah jelas banget sih kalo istilah EQ yg arti harafiahnya itu “hasil pembagian dari emosi itu salah. Lebih tepat digunakan kecerdasan emosional buat jelasin konsep yang dimaksud. Makanya akhirnya para ahli lebih milih istilah emotional intelligence EI. Ngerti nggak sampe sini Men? Nah, kalo sampe poin ini lo udah bisa pahamin, kita lanjut bahas soal apa yg orang-orang bilang soal EQ atau EI. Sering banget kita denger orang-orang awam suka ngomong “Percuma IQ tinggi tapi EQ jeblok” atau semacamnya. Sering kan? EQ pertama kali dikonsepin oleh Keith Beasley pada tulisannya pada artikel Mensa pada tahun 1987. Tapi, istilah ini baru bener-bener mendunia dan udah ganti jadi EI setelah Daniel Goleman pada bukunya “Emotional Intelligence – Why it can matter more than IQ” yang terbit pada tahun 1995. Walaupun buku ini dianggap bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun oleh Goleman bikin para ahli psikologi rame-rame bikin penelitian tentang hal ini. Kecerdasan Emosional, pada intinya adalah kemampuan kita buat ngidentifikasi, ngukur, dan ngontrol emosi diri sendiri, orang sekitar, dan kelompok. Para peneliti EI punya posisi bahwa EI lebih penting daripada sekadar kecerdasan kognitif. Goleman sendiri membagi kemampuan-kemampuan emosional menjadi lima kemampuan a kesadaran diri,b kontrol diri,c kemampuan sosial,d empati,e motivasi. Goleman berpendapat bahwa tanpa kelima kemampuan ini, orang yang memiliki IQ tinggi bakal kehambat dalam kegiatan akademik serta pekerjaan. Walaupun laku keras di kalangan umum, banyak ilmuwan dan praktisi psikologis yang tetep skeptis sama kecerdasan emosional. Yang paling mereka kritik adalah pengetesannya. Ilmuwan harus bekerja berdasarkan bukti. Jika seorang ilmuwan di bidang apapun bikin suatu hipotesis, harus didukung sama pengukuran yang akurat. Nah, para ahli psikologi ngekritik EI karena alat ukurnya nggak valid valid ini maksudnya nggak ngukur apa yang harusnya diukur. Alat-alat tes EI itu kebanyakan soalnya berupa pilihan-pilihan jawaban yang bisa aja orang yang ngisi ngibul pas ngejawabnya. Makanya, para ahli kurang bisa nerima hasil pengukuran EI. Belom kelar masalah EI, eh tiba-tiba ada lagi yang ngusulin sebuah konsep kecerdasan baru yang dinamain.. Spiritual Quotient Intelligence Spiritual Intelligence SI atau kecerdasan spiritual. Pertama kali dikonsepin sama psikolog yang bernama Danah Zohar, pada tahun 1997. Konsep ini dapat dibilang baru dalam dunia psikologi, karena emang konsepnya aja belom dianggep matang. Banyaaaak banget kritik soal konsep SI ini bahkan bukan soal pengukurannya atau nilainya, tapi soal konsep dasarnya. SI ini dibuat oleh Zohar untuk mengukur kemampuan seseorang dalam memaknai kehidupannya, jadi nggak ada hubungannya dengan agama ataupun kerohanian dalam konsep awam. Kemampuan-kemampuan yang menurut Zohar tergabung dalam konsep SI antara lain Spontanitas, visioner, rasa kemanusiaan, kemampuan untuk bertanya hal-hal yang bersifat mendalam seperti “siapakah saya dalam dunia ini?”, kemampuan untuk menerima perbedaan, dan sebagainya. Nah, lagi-lagi, selain konsepnya yang belom mateng, alat ukurnya lebih ngaco lagi, kalo menurut ahli-ahli ilmu psikologi. Alat ukurnya lebih bisa bikin yang ngisi ngibul soal kondisinya, yang akhirnya bikin skor tesnya jadi tinggi-tinggi deh. Susah kan ngukurnya kalo kaya gini!? Seperti biasa, dunia bisnis berkembang jauuuuh lebih cepet daripada dunia ilmu pengetahuan. Kalo ada konsep-konsep yang menarik dan “laku dijual”, para pelaku bisnis pasti cepet tanggep makenya padahal belom yakin itu konsep udah mateng atau belom. Kalo dalam ilmu lain, fisika kimia misalnya, kalo ada penemuan yang belom mateng terus udah laku di pasaran, resikonya kan jelas lah yaa, meledak lah, beracun lah, bikin mati sekampung lah. Nah, kalo dalam ilmu psikologi, dampak-dampak itu nggak keliatan langsung, tapi sebenernya bakal ujung-ujungnya kerasa dampaknya. Contohnya gini deh, konsep EI dan SI belom mateng, alatnya belom valid, tapi udah dipake buat nyeleksi manajer di satu perusahaan. Dari hasil tes dibilang bahwa si calon X punya kecerdasan emosional dan spiritual yg tinggi, tapi tesnya nggak valid. Walhasil, taunya si manajer nggak bekerja sesuai yang diharepin. Akhirnya, sayang kan duit yang dipake buat seleksi dan gaji si manajer X. Maka dari itulah, semua yang kira-kira punya embel-embel “quotient” nya atau “kecerdasan” ini itu emang kedengeran seksi di kuping kita. Yang namanya ortu itu pingin anaknya cerdas, berpekerti luhur, spiritual, dan sebagainya. Udah keniscayaan itu sih. Tapi, kita sebagai kaum terpelajar yang harus berpikir kritis, jangan lah cepet-cepet percaya sama apa pun yang dibilang sama orang lain. Telusurin sendiri sebelom rugi. Di Indonesia nih misalnya, udah jelas konsep EI belom jelas alat ukurnya, pelatihan-pelatihan dan pengukuran EI udah menjamur di mana-mana. Pake alat apa juga nggak peduli deh, yang penting Danah Zohar di atas kan udah bilang kalo SI nggak ada hubungannya dengan agama, tapi pelatihan-pelatihannya banyaaaaaaak banget ini beneran banyak banget yeh, se-Indonesia. Kebayang nggak kalo ternyata konsepnya nggak mateng dan itu pelatihan malah bikin kita jadi cerdas secara spiritual, tapi malah misalnya jadi takut sama kehidupan, ngerasa banyak dosa, dsb. Nggak nyambung dong sama yang dikonsepin sama Danah Zohar? Ya nggak?! Nah, pesen moral dari tulisan ini cuma singkat Sebagai kaum terpelajar, kita harus telusurin dulu sebelum percaya apa pun, terutama kalo itu bisa bikin kita rugi baik secara finansial maupun psikologis. Catatan Editor Seperti biasa kalo ada yang mau nanya, komentar, atau ngobrol sama Faisal, bisa langsung tinggalin comment aja di bawah artikel ini. Buat lo yang belum gabung jadi registered account di Zenius, pastiin lo gabung sama kita dengan daftar Zenius di sini! Berani ngasah otak dan kemampuan berpikir lo? Nih, cobain Zencore! Dengan fitur adaptive learning dan latihan soal CorePractice, lo bisa tingkatin skill matematika, bahasa Inggris, sekaligus verbal dan logika secara gratis. Ketuk banner di bawah buat mulai cobain! *** In 2019, eight students tied for the top spot at the Scripps National Spelling Bee, an unprecedented phenomenon. These 12- to 14-year olds seemed like they could keep going indefinitely beyond the stipulated three-hour mark, spelling words such as callejón’ and omphalopsychite.’ All contestants had survived several hours under warm camera lights, Twitterati comments, analyst ratings of their style. One of the contestants stumbled back, drained, after spelling the last word correctly. Others had tears in their eyes. Spelling bee champions are often cited for their high academic achievement and IQ. But this grueling final round went much beyond academics, challenging contestants on multiple dimensions. Howard Gardener put forth the Multiple Intelligences theory in his 1983 book, Frames of Mind. Gardner argued that multiple intelligence dimensions lend a unique cognitive profile for each individual, positing eight frames of mind verbal, mathematical, spatial, kinesthetic, musical, intrapersonal, and naturalist. More recently, a new vocabulary has emerged for individual competencies with a range of “quotients”—along with IQ, we now also have EQ, CQ, AQ, and SQ. Here’s a quick primer on these terms so you can put your best foot forward and help others harness their strengths. Intelligence Quotient or IQ signifies mental potential and academic ability. Intelligence measurement methods exist since the late 19th century, and in 1912, German psychologist William Stern came up with the formula “ratio of mental age to chronological age times 100” to measure IQ. Over time, having a high IQ came to be considered a mark of brilliance—the most cited examples being Albert Einstein and Stephen Hawking, both with an IQ score of 160. Mensa, which means table’ in Latin, is a society that recognizes individuals whose IQ belongs to the top 2% of the population, and over time, Mensa entry has become the highest bar for proving your intelligence. IQ was deeply ingrained within our academic assessment and hiring/ promotion systems for a long time. But it is now being tested as not being the only valid assessment measure. Thinkers like Angela Duckworth posit that the greatest predictor of academic success is not intelligence, but rather self-discipline. The ability to manage yourself has become the new measure of assessing competence in the 21st century, giving rise to a focus on EQ, CQ, AQ, and SQ. Emotional Quotient or EQ made waves in the 1990s with its founding fathers John D Mayer and Peter Salovey who created a framework for emotional intelligence 1990. Daniel Goleman championed the concept in his 1995 book, Emotional Intelligence. EQ is the ability to understand your own and others’ emotions, and to use emotional information to guide thinking, behavior, and interpersonal relationships. Unlike IQ which is deemed to be something you are born with, EQ can be acquired. Want to know how to nurture your EQ? Travis Bradberry’s Emotional Intelligence can offer you some pointers. Diverse companies such as Nike, Ford, Boeing, Wipro, and Dabur have embraced the Spiritual Quotient SQ as part of their managerial vocabulary. Danah Zohar and Ian Marshall’s pioneering 2001 book on the subject created awareness around what is considered our most fundamental intelligence. Building a foundation of trust and happiness is now considered important for organizational as well as individual success. Above all, educational institutions and corporates believe that individuals with a high SQ are able to put the interests of others ahead of personal interests and have come to value SQ in a VUCA volatile, uncertain, complex, ambiguous environment. In a 2015 PwC survey of more than a 1000 CEOs, a number of them cited curiosity and open-mindedness as leadership traits that are becoming increasingly critical in our present turbulent times. This is partly because curious leaders lay a strong inquisitive foundation for the company, encouraging a culture of innovation. Indeed, a 2014 Harvard Business Review article introduced the concept of a Curiosity Quotient CQ. Individuals with higher CQ are more desirable in education systems and workplaces because they are inquisitive and open to new experiences, more tolerant of ambiguity, and therefore capable of producing simple yet nuanced solutions to complex problems. The latest buzzword in education and business is Adaptability Quotient AQ. Adaptability will become increasingly important to our future with AI and ML changing the nature of work. PwC’s Adapt to Survive studies over diverse geographies measured talent adaptability scores and found the Netherlands to be the top scorer, while India had the lowest score. The business case is clear adaptability can unlock up to USD 130 billion in additional productivity, according to PwC. “Continuous learning lies at the heart of thriving,” says the 2017 World Economic Forum report. In this spirit, we should focus our energies on developing a wide range of quotients.’ Perhaps our multiple intelligences can help us navigate a path through the artificial intelligence workscape, where machines and humans will cohabit and collaborate. What do you consider to be your strongest “quotient” and how can you leverage it in your education and career? For centuries a person’s intelligence or academic abilities were measured with a standardised IQ test. The higher a person scored on the test the more academically capable they were perceived to be. Organisations like MENSA were formed with exclusive membership being granted to adults and children who displayed very high IQ levels. In his book, Frames of Mind, Howard Garner challenges the notion that intelligence is a single yardstick on which to measure a person’s abilities and chances of future success. Over the last few decades, other researchers and psychologists have followed suit and also identified alternative ways to measure intelligence that doesn’t only focus on academic abilities. There are four types of intelligence that are commonly used today; Intelligence Quotient IQEmotional Quotient EQSocial Quotient SQAdversity Quotient AQIn this article, we will look at the different types of intelligence, learn more about whether IQ is more important than EQ, SQ and AQ, and find out how parents can incorporate social and emotional development into their child’s education. Meaning of IQ, SQ, EQ and AQIntelligence Quotient or commonly referred to as IQ measures a person’s level of comprehension. This is usually assessed through an IQ assessment that tests a person’s ability to solve mathematical equations, memorise things, identify patterns and recall Quotient EQ or Emotional Intelligence refers to one’s ability to manage their emotions. This includes the ability to understand and self-manage their own feelings in positive ways to communicate effectively, empathize with others, overcome challenges, manage conflict and relieve Quotient SQ or Social Intelligence refers to one’s ability to interact and communicate with others with empathy and assertiveness. This includes a person’s ability to build a network of friends and maintain it over a long period of Quotient AQ refers to one’s ability to overcome challenges or adversity. When faced with troubles, the Adversity Quotient considers who will give up, who will abandon their family, and who will contemplate Goleman, author, psychologist and journalist for the New York Times, stated that “as much as 80% of adult success comes from EQ”. His research shows that people who have higher emotional and social intelligence tend to go further in life than those with a high IQ but low EQ or SQ. IQ vs EQ, SQ and AQEvery child is different, with unique learning needs and personalities. Saying that one intelligence type is more important than another is like saying that it is more important to learn maths than languages. Whilst each subject is important in schooling, what is most important is that a child builds educational foundations that will serve them through their adult life. The same logic can be applied when comparing different types of intelligence. It is simply not logical to think that one type of intelligence is more important than another. Developing a child’s social skills, self-awareness, self-control and coping mechanisms are not only important for learning but also vital to succeed as adults in a workplace environment. Social and emotional learning in schoolsUnderstanding your child’s unique personality and strength areas can offer valuable insights into how you approach and personalise their education to develop these key life skills. Whilst most schools focus on improving IQ levels, EQ, SQ and AQ development is often neglected. It is equally as important to attend to the emotional well-being of a learner, as to their academic needs. Social and emotional learning should be integrated into a child’s education as it is integral to their development. Enrolling your child in a social and emotional learning course will help them develop these key life skills and will in turn contribute to them becoming more successful and happier in their adult of social and emotional learningThere are tangible and practical reasons to incorporate social and emotional learning into a child’s education. According to Goleman, incidences of bullying, peer pressure, behavioural problems, violence and substance abuse are reduced in schools that focus on developing their students' EQ and SQ. This in turn leads to improved academic performance and behaviour. CambriLearn’s social and emotional learning courseCambriLearn offers an in-depth social-emotional learning course to help children navigate these critical developmental areas. The course is completed online through interactive lessons and group projects to help learners discover constructive ways to process their emotions and interact with others in a respectful way. In this course, students learn to Recognise and practice character strengths, like curiosity, persistence, and and manage their emotions, like fear and in a team, listen to and appreciate each the consequences of their actions to others. Students who have completed the social-emotional learning course with CambriLearn have shown improved self-esteem and self-awareness,attitude and relationships,ability to cope with social and peer pressures, learning by Stacey Cruickshanks

pengertian iq eq aq cq sq